BAB III
PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG
SEBAGAI PROSES
Di dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, adanya peraturan perundang-undangan yang baik akan banyak menunjang penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sehingga lebih memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan negara yang kita inginkan.
Proses penyusunan undang-undang terdiri dari tiga tahap, yaitu:
A. Proses penyiapan rancangan Undang-undang, yang merupakan proses penyusun dan perancangan di lingkungan Pemerintahan, atau di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat (dalam hal RUU Usul Inisiatif).
B. Proses mendapatkan persetujuan yang merupakan pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat.
C. Proses pengesahan (oleh presiden) dan pengundangan (oleh Menteri Negara Sekretaris Negara atas perintah Presiden).
Ketiga proses penyusunan Undang-Undang tersebut dapat kita bahas secara berurutan sebagai berikut.
A. Proses Penyiapan Rancangan Undang-Undang
1. Proses penyiapan undang-undang dilingkungan Pemerintah
Dalam proses penyiapan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Pemerintah, kita berpedoman pada Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1979 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rncangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.
Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1970 ini merupakan perintah yang berisi petunjuk Presiden kepada para Menteri (Pimpinan Departemen) dan para Kepala Lembaga Pemerintahan Non Departemen (LPND) mengenai bagaimana prosedur menyusun Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintahan.
Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1970 tersebut menentukan sebagai berikut:
Pasal 1 ayat (1) : masing-masing Departemen dan Lembaga dapat mengambil prakarsa untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah, sepanjang yang menyangkut bidang tugasnya.
Pasal 1 ayat (2) : prakarsa tersebut dengan penjelasan pokok-pokok materi serta urgensinya supaya terlebih dahulu dilaporkan kepada Presiden sebelum dilaksanakan persiapan penyusunanannya.
Berdasarkan Pasal 1 Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1970, Pimpinan Departemen dan Lembaga Pemerintahan Non Departemen ataupun Kepala Lembaga Pemrintahan Non Departemen, dapat mengajukan prakarsa kepada presiden yang memuat urgensi, argumentasi, dan pokok-pokok materi suatu masalah yang akan dituangkan kedalam Rancangan Undang-Undang tersebu.
Akan tetapi apabila Presiden tidak dapat menyetujui permohonnan prakarsa tersebut, akan disampaikan juga surat kepada Menteri/Pimpinan Departemen atau Kepala Lembaga Pemerintahan Non Departemen yang bersangkutan, disertai alasan-alasannya.
Pasal 2 ayat (1): dengan persetujuan Presiden, Menteri yang bersangkutan melakukan langkah-langkah seperlunya untuk penyusunan Rancangan Undang-Undang/Rancangan Peraturan Pemerintah yang penyusunannya dapat diselenggarakan dengan mengadakan suatu panitia.
Pasal 2 ayat (2): panitia tersebut ayat (1) Pasal ini dapat berbentuk suatu Panitia Interdepartemen atau suatu Panitia Intern di lingkungan Departemen/Lembaga yang bersangkutan, sesuai dengan petunjuk Presiden.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1970, makla dengan disetujuinya permohonan prakarsa Menteri/Pimpinan Departemen ataupun Kepala Lembagaga Pemerintahan Non Departemen tersebut akan dibentuk Panitia Antar Departemen yang terdiri atas Instansi-Instansi terkait yang mengurusi hal-hal atau masalah-masalah yang berhubungan dengan materi yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang tersebut, sesuai dengan petunjuk Presiden.
Rancangan Undang-Undang tersebut kemudian akan disampaikan/diedarkan oleh Menteri/Pimpinan Departemen pemrakarsa kepada:
1. Para Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintahan yang erat hubungannya dengan materi yang diatur dalam Rancangan yang bersangkutan, untuk mendapatkan tanggapan dan pertimbangan.
2. Menteri Kehakiman untuk memperoleh tanggapan seperlunya dari segi hukum.
3. Sekretaris Kabinet untuk persiapan penyelesaian Rancangan tersebut selanjutnya.
Untuk mengolah tanggapan dan pertimbangan yang diajukan oleh masing-masing Departemen dan Lembaga Pemerintah sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) Instruksi Presiden nomor 15 tahun 1970, di mana Rancangan Undang-undang tersebut harus ditanggapi dan diberi pertimbangan-pertimbangan apabila diperlukan. Tanggapan-tanggapan dan pertimbangan-pertimbangan tersebut kemudian harus diserahkan kembali kepada Menteri pemrakarsa yang bersangkutan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Akan tetapi, sebelum Rancangan Undang-Undang tersebut disampaikan kepada Presiden, Rancangan Undang-Undang yang diserahkan kepada Sekretaris Negara untuk diteliti kembali mengenai hal-hal teknis perundang-undangan.
Apabila dalam penelitian tersebut Sekretaris Negara menemukan hal-hal yang tidak sesuai dan perlu diadakan perbaikan kembali, sekretaris Negara akan mengadakan konsultasi dan koordinasi kembali dengan Departemen dan Lembaga Pemerintah lainnya yang terkait dengan masalah yang menjadi masalah ruang lingkup Rancangan Undang-Undang tersebut. Hal-hal yang dapat menyebabkan diadakannya konsultasi dan koordinasi oleh Sekretaris Negara tersebut antara lain adalah:
- Karena Rancangan Undang-Undang yang diajukan ke Sekretaris Negara tersebut masih terlihat bersifat departemental.
- Karena materi muatan yang tertuang ke dalam Rancangan Undang-Undang tersebut bukanlah merupakan materi muatan suatu Undang-Undang.
- Karena adanya kebijakan yang baru sehingga peraturan yang di tuangkan kedalam Rancangan Undang-Undang tersebut dirasakan tidak sesuai lagi.
- Karena adanya lebih dari satu Rancangan Undang-Undang yang mengatur hal-hal yang sama.
Kemudian setelah Rancangan Undang-undang telah disempurnakan, selanjutnya akan disampaikan kepada Presiden. Setelah menerima dan membaca Rancangan Undang-Undang tersebut, maka Presiden akan mengirimkan Rancangan Undang-Undang tersebut kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dengan suatu Amanat Presiden. Proses penyiapan Rancangan Undang-Undang ditentukan dalam Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1970
Setelah Rancangan Undang-Undang tersebut diterima oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, proses selanjutnya adalah pembahasan Rancangan Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Proses penyiapan Rancangan Undang-Undang di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (1) UUD 1945, anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan Rancangan Undang-Undang yang kita kenal dengan Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif. Didalam pelaksanaannya Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif ini diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 9/DPR-RI/I/1997-1998;
Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 9/DPR-RI/I/1997-1998 menentukan dalam Pasal 134 bahwa Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPR dapat diajukan oleh:
- Sepuluh orang Anggota DPR yang tidak hanya terdiri atas satu fraksi,
- Komisi atau Tabungan Komisi.
Rancangan Usul Undang-undang tersebut disertai penjelasannya disampaikan kepada Pimpinan DPR secara tertulis dengan surat pengantar disertai daftar nama, tanda tangan para pengusul serta nama fraksinya.
Setelah usul Rancangan Undang-Undang tersebut diterima oleh Pimpinan DPR, maka dalam rapat paripurna selanjutnya Ketua Sidang akan memberi tahu para anggota Dewan Perwakilan Rakyat tentang masuknya usul Rancangan Undang-Undang itu serta membaginya kepada para anggota DPR.
Sehubungan dengan pengajuan Rancangan Undang-Undang Usul inisiatif DPR tersebut, dalam Pasal 135 Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 9/ DPR-RI/I/1997-1998 ditentukan hal-hal sebagai berikut:
1. Selama usul Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif belum dibicarakan dalam Badan Musyawarah, para pengusul berhak mengajukan perubahan.
2. Selam usul Rancangan Undang-Undang belum diputuskan menjadi Rancangan-Undanga-Undang Usul Inisiatif DPR, para pengusul berhak menarik usulannya kembali.
3. Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali usul sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus ditandatangani oleh semua pengusul dan disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR, yang kemudian dibagikan kepada anggota DPR.
Selain hal-hal tersebut diatas, pasal 136 Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 9/DPR-RI/I/1997-1998 menentukan hal-hal berikut:
- Apabila sebelum pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (5), jumlah penandatangan usul Rancangan Undang-Undang menjadi kurang dari sepuluh orang, harus diadakan penambahan penandatanganan sehingga jumlahnya menjadi sekurang-kurangnya sepuluh orang dan tidak hanya terdiri dari satu fraksi.
- Apabila sampai dua kali Masa Persidangan jumlah penandatangan yang dimaksud tidak dapat dipenuhi, maka usul tersebut menjadi gugur.
Akan tetapi, apabila tidak ada masalah, maka sesuai dengan pembahasan terdahulu Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPR yang telah disempurnakan tersebut oleh Pimpinan DPR akan disampaikan kepada Presiden agar presiden mengetahui dan menunjuk seorang Menteri atau Menteri-menteri yang mewakili Pemerintah dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat, di mana kemudian Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPR tersebut akan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat.
B. Proses mendapatkan persetujuan (Proses Pembahasan di DPR)
Dalam tingkat pembahasan di DPR, baik Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Pemerintah maupun berasal dari Usul Inisiatif DPR dilaksanakan dengan cara yang ditentukan dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 9/DPR-RI/I/1997-1998.
Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Pemerintah dan Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPR terdapat persamaan dan perbedaan, yang akan diuraikan sebagai berikut.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat .
1. Pembicaraan tingkat I: Rapat Paripurna
• Pada pembicaraan tingkat I ini acaranya tunggal, yaitu Keterangan atau Penjelasan Pemerintah mengenai Rancangan Undang-Undang tersebut (dalam hal Rancangan Undang-Undang dari Pemerintah).
• Keterangan atau Penjelasan oleh Pimpinan Komisi atau Rapat Gabungan komisi atau Rapat Panitia Khusus (dalam hal Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPR).
2. Pembicaraan Tingkat II: Rapat Paripurna
• a. Pemandangan umum para anggota DPR yang membawa suara fraksinya terhadap Rancangan Undang-Undang beserta keterangan atau penjelasan Pemerintah.
b. Jawaban Pemrintah terhadap tanggapan/pandangan umum para anggota DPR (dalam hal Rancangan Undang-Undang dari Pemerintah).
• a. Tanggapan dari Pemerintah terhadap Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPR beserta penjelasan Komisi, atau Gabungan Komisi, atau Panitia Khusus.
b. Jawaban Pimpinan Komisi atau Gabungan Komisi atau Panitia Khusus atas nama DPR terhadap tanggapan Pemerintah.
3. Pembicaraan Tingkat III: Rapat Komisi/Rapat Gabungan Komisi/ Rapat Panitia Khusus
Dalam pembicaraan Tingkat III ini baik Rancangan Undang-Undang dari Pemerintah maupun Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPR akan dibahas secara keseluruhan, mulai dari Penamaan, pembukaan, Pasal-pasal sampai bagian akhir dari Rancangan Undang-Undangtersebut.
4. Pembicaraan Tingkat IV: Rapat Paripurna
Dalam Rapat Paripurna Tingkat IV ini Rancangan Undang-Undang dari Pemerintah maupun Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPR dilakukan dengan cara yang sama, yaitu:
1. Laporan hasil pembicaraan rapat ditingkat III.
2. Penyampaian pendapat akhir dari fraksi-fraksi yang disampaikan oleh para anggotanya, yang apabila dipandang perlu, disertai dengan catatan tentang pendirian fraksinya (catatan-catatan penting dengan nota kecil/minderheidsnota).
3. Pengembilan keputusan.
4. Pemberian kesempatan kepada Pemerintah untuk menyampaikan sambutan terhadap pengambilan keputusan tersebut diatas.
Berdasarkan uraian diatas, terlihat dengan jelas bahwa pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang dari Pemerintah dan Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPR dibahas secara berbeda dalam Pembicaraan Tingkat I dan II, sedangkan pada pembicaraan Tingkat III dan Tingkat IV keduanya dilakukan dengan cara yang sama.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang untuk meratifikasi Perjanjian Internasional
Dalam Pasal 133 Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 9/DPR-RI/I/1997-1998 ditentukan bahwa:
“Rancangan Undang-Undang untuk meratifikasi dan/atau memberikan persetujuan atas pernyataan perang, pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang disampaikan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat dibahas dan diselesaikan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 125 sampai dengan pasal 129.”
C. Proses pengesahan dan pengundangan
Apabila pembicaraan suatu Rancangan Undang-Undang dalam Rapat Paripurna Tingkat IV telah selesai, Rancangan Undang-Undang yang sudah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat tersebut akan dikirimkan oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden melalui Sekretaris Negara untuk mendapatkan pengesahan.
Setelah menerima Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat tersebut, Sekretaris Negara akan menuangkannya pada kertas kepresidenan dan akhirnya dikirimkan kepada Presiden untuk disahkan. Presiden kemudian akan mengesahkan Undang-Undang tersebut dengan cara menandatangani Undang-Undang tersebut. Setelah Undang-undang tersebut disahkan oleh Presiden, maka agar Undang-Undang tersebut dapat berlaku dan mengikat umum, kemudian Undang-undang tersebut akan diundangkan oleh Menteri Negara Sekretaris Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar